Makanan Sehat - Seledri

Awalnya hanya tersedia di alam liar, seledri dianggap berasal dari wilayah Mediterranean dari Afrika Utara dan Eropa Selatan.

Tapi, ada juga yang percaya bahwa seledri berasal dari wilayah-wilayah di sepanjang daerah timur sampai ke Himalaya.

Saat awal, seledri hanya dianggap sebagai obat. Kemampuan pengobatan ini tercatat dalam Odyssey, yang telah ditulis oleh seorang penyair Yunani yaitu Homer diabad ke 9 Sebelum Masehi.

Di masa Yunani kuno, daun seledri menghiasi dan memeriahkan pertandingan atletik, dan dimasa Romawi kuno, seledri digunakan sebagai bumbu.

Pada abad pertengahan, seledri telah menjadi suatu makanan yang dimasak. Itu tidak pernah dilakukan sebelumnya sampai pada abad ke 18 Masehi seledri masih dikonsumsi sebagai makanan mentah di Eropa. Pada abad ke 19 Masehi, seledri akhirnya menemukan jalannya ke Amerika.

Seledri banyak mengandung vitamin K dan C, potassium, folate, serat, molybdenum, manganese, dan vitamin B6. Selain itu, seledri juga banyak mengandung kalsium, vitamin A, B1 dan B2, magnesium, tryptophan, phosphorus, dan zat besi.

Tapi apa kata para peneliti?

Kanker

Dalam sebuah studi tahun 2008 yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, dua peneliti dari University of California, Riverside, menemukan bahwa proses pencernaan dari apigenin, yaitu sejenis flavonoid, suatu phytonutrient (zat tanaman) dengan aktivitas antioxidant yang tinggi yang ditemukan dalam seledri, meningkatkan respon dari cell-cell kanker terhadap chemotherapy.

Bagaimana itu bisa terjadi?

Para peneliti merasa yakin bahwa apigenin mengaktifkan sebuah penekan tumor yang dikenal sebagai p53 dan mengirimkannya ke nucleus dari cell-cell kanker. Terjadi penghentian pertumbuhan cell-cell dan menyebabkan cell-cell menjadi mati.

Para peneliti mencatat bahwa, ‘‘apigenin secara khusus mengembalikan lokalisasi reaktor p53 dan ini menyediakan suatu basis molekular dari penggunaan apigenin untuk mentargetkan kanker-kanker yang disebabkan oleh lokalisasi cytoplasm abnormal dari p53 jenis liar.’’

Kanker Ovarian

Dalam sebuah studi berbasis populasi yang dipublikasikan tahun 2009 di International Journal of Cancer, para peneliti Harvard mereview hubungan antara asupan dari apigenin dengan munculnya kanker ovarian.

Studi ini terdiri dari 1.141 wanita yang menderita kanker ovarian dan 1.183 wanita sebagai kontrol. Usia rata-rata dari para peserta dalah 51 tahun.

Saat dibandingkan dengan wanita yang mengkonsumsi apigenin paling sedikit, wanita yang mengkonsumsi paling banyak punya suatu ‘‘pengurangan ambang batas yang signifikan’’ dalam resiko dari kanker ovarian.

Yang menarik, para peneliti menemukan bahwa manfaat seperti itu tidak di dapat dari mengkonsumsi empat jenis flavonoid lainnya, yaitu myricetin, kaempferol, quercetin, dan luteolin.

Selain itu, mereka tidak menemukan adanya hubungan ‘‘antara total asupan flavonoid dengan resiko kanker ovarian.’’

Kanker Prostate

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2005 di The FASEB Journal, para peneliti dari Case Western Reserve University di Cleveland, Ohio, memberi apigenin pada tikus dengan dosis sebanyak 20 dan 50 microgram (mcg) per hari selama enam minggu.

Setelah dua minggu pertama dari pemberian dosis, mereka menanamkan tumor kanker prostat pada tikus. Dalam protokol kedua, tumor ditanamkan dua minggu sebelum pemberian dosis dimulai.

Para peneliti menemukan bahwa dalam kedua versi dari studi ni, apigenin memperlambat pertumbuhan dari cell-cell kanker prostate. Selain itu, apigenin sama sekali tidak tampak memiliki efek samping negatif.

Para peneliti mencatat bahwa penemuan mereka ini ‘‘memberikan kemungkinan bahwa apigenin . . . mungkin bermanfaat dalam perawatan dari kanker prostate.’’

Manfaaat Tambahan Anti-Kanker

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2004 di Carcinogenesis, para peneliti menemukan bahwa saat apigenin dikonsumsi dengan makanan yang mengandung sulforaphane, sebuah senyawa yang ditemukan dalam semua sayuran brassica misalnya brokoli, apigenin menawarkan perlindungan yang jauh lebih besar terhadap cell-cell kanker.

Meski apigenin dan sulforaphane bertindak dengan cara yang berbeda, tapi mereka punya suatu ‘‘efek synergis.’’

Asthma

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2006 di Journal of Agricultural and Food Chemistry, para peneliti Jepang menambahkan diet dari tikus-tikus dengan apigenin selama dua minggu lalu mengukur level immune dan ciri-ciri peradangan.

Saat dibandingkan dengan tikus-tikus dari kelompok kontrol, para peneliti menemukan bahwa apigenin menekan level level-level dari immunoglobulin E (IgE) sebanyak 50 persen.

IgE itu berhubungan dengan ekspresi dari asthma dan jenis-jenis allergi lain; level IgE yang tinggi meningkatkan resiko dari asthma dan allergi.

Para peneliti mencatat bahwa hasil mereka ini menyiratkan bahwa ‘‘sebuah diet yang mengandung apigenin bisa mengurangi serum IgE.’’

Mencegah Kerusakan Tulang dan Mendukung Penurunan Berat Badan

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2008 di Life Sciences, para peneliti Korea Selatan mencoba untuk mengetahui apakah apigenin melindungi tulang dari tikus-tikus yang kekurangan esterogen dimana ovaries mereka telah diangkat.

Para peneliti menggunakan tikus-tikus Sprague-Dawley berumur tiga bulan yang pura-pura dioperasi (sebuah prosedur operasi placebo) atau yang di ovariectomized dan diberi makan sebuah diet yang mempercepat perusakan tulang selama tujuh minggu.

Kemudian, selama 15 minggu, tikus-tikus diberi makan 10 mg/kg apigenin tiga kali per minggu. Para peneliti menemukan bahwa apigenin meningkatkan kandungan mineral dan kepadatan dari tulang-tulang serta memiliki sebuah efek positif terhadap pergantian tulang.

Selain itu, apigenin mengurangi berat tubuh dan konsumsi makanan. Mereka menyimpulkan bahwa ‘‘data ini menyiratkan bahwa apidenin seharusnya dipertimbangkan untuk digunakan dalam perawatan osteoporosis.’’

Kesehatan Jantung

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2007 di Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti mengamati efek-efek pembuluh darah dari mengkonsumsi nitrite, yang ditemukan dalam seledri, pada tikus.

Sementara suatu kelompok tikus kontrol diberi makan diet standard, selama tujuh hari para peneliti menambahkan 50 mg/L nitrite pada air minum dari kelompok tikus lainnya.

Semua tikus kemudian di picu untuk mengalami serangan jantung, di follow-up selama 24 jam dari reperfusion (pengembalian aliran darah ke organ atau jaringan -- dalam kasus ini adalah jantung).

Seperti yang mungkin sudah diduga, jantung-jantung dari tikus yang diberi nitrite punya level nitrite yang lebih tinggi.

Yang lebih signifikan lagi adalah fakta bahwa saat dibandingkan dengan tikus kontrol, jantung-jantung dari tikus yang diberi nitrite punya 48 persen pengurangan dalam kerusakan otot-otot jantung.

Tikus yang berada pada diet tinggi nitrite juga lebih besar kemungkinannya untuk selamat dari serangan jantung. Tingkat keberlangsungan hidup mereka adalah 77 persen; tikus yang berada pada diet kekurangan nitrite tingkat keberlangsungan hidupnya hanya 58 persen dari waktu.

Saat para peneliti melakukan percobaan yang mirip dengan nitrate, tikus yang diberi nitrate memiliki jumlah nitrate yang lebih tinggi di dalam otot-otot jantungnya dan punya kerusakan otot jantung yang lebih sedikit, meski pengurangan dalam kerusakan itu lebih kecil dibanding yang di dapat dari nitrite.

Para peneliti menyimpulkan bahwa, ‘‘nitrite dan nitrate mungkin bertindak sebagai gizi penting untuk kesehatan jantung yang optimal dan mungkin menyediakan suatu cara perawatan untuk kesehatan jantung.’’

Perlindungan Terhadap Penyakit Peradangan Otak

Dalam dua buah studi--sebuah studi in vitro dan studi kedua pada tikus--yang dipublikasikan secara bersamaan tahun 2008 di Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti dari University of Illinois at Urbana-Champaign mengamati hubungan antra konsumsi dari luteolin, sebuah flavonoid yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi dari seledri (dan lada hijau) dengan peradangan otak.

Para peneliti mereawat cell-cell otak microglia dengan berbagai konsentrasi dari luteolin. Mereka kemudian mengekspose cell-cell ke suatu zat yang menyebabkan peradangan. Saat dibandingkan dengan cell-cell yang tidak dirawat, luteolin menghambat peradangan sebanyak 90 persen.

Dalam percobaan in vivo pada tikus, para peneliti memberikan tikus konsentrasi yang berbeda dari luteolin. Setelah 21 hari, mereka menyuntikkan zat pemicu peradangan yang sama. Luteolin ditemukan mengurangi level peradangan.

Bahkan, tikus yang diberikan konsentrasi tertinggi dari luteolin punya perlindungan paling besar dalam hippocampus, sebuah area di dalam otak yang berhubungan dengan proses mengingat dan belajar.

Karenanya, para peneliti berspekulasi bahwa luteolin mungkin bermanfaat dalam pencegahan penyakit-penyakit otak misalnya Alzheimer’s dan dementia.

Nah, haruskah seledri disertakan ke dalam diet?

Pasti! Dan adalah ide yang bagus untuk mengkonsumsinya dengan minimal satu sayuran jenis brassica.